Berulang kali ku buka ponselku,
berulang kali juga kubaca kotak masuk pesanku sambil tersenyum. Ingin rasanya
aku terbang, terbang mengelilingi indahnya langit bersama burung burung.
Melayang bebas di angkasa, merasakan kebahagiaan yang kini merekah. “Ri, kenapa
senyum senyum ? bahagia gitu kayaknya ?” ucap Binka membuyarkan lamunanku.
“Apaan ?! Cuma lagi bayangin kalau kamu terbang tanpa sayap dan jatuh tanpa
parasut” balasku sekenanya yang tentunya hanyalah kebohongan belaka. Tak terasa waktu menunjukkan tepat pukul 01.00
siang, bel tanda pulang mulai terdengar “yuk buruan pulang” ucap Binka. Binka
adalah sahabatku, sesosok manusia yg manis, tinggi dan pintar. “oke, sepertinya
cacing di perutku mulai bernyanyi” balasku. Aku melangkah keluar kelas dan
bertemu Silwi, yang juga merupakan sahabatku. Tanpa membuang waktu kita bertiga
mulai berjalan ke depan gerbang sekolah, “eh stop berhenti dulu deh, kayaknya
barangku ada yang ketinggalan di kelas, kalian mau kan nganterin balik ke kelas
?” ucap Silwi dengan nada setengah merayu. Ingin rasanya aku menolak ajakannya,
kalau saja dia bukan teman terdekatku.
Tanpa ragu, kami berjalan menyusuri koridor sekolah melewati beberapa ruangan dengan langkah gontai karena kehabisan energi. Kami tiba di depan kelas 9d hendak membuka pintu kelas tersebut, namun aku merasakan perasaan yang aneh, jantungku berdegup kencang, darahku terasa mengalir lebih cepat dari biasanya. Pandanganku tertuju pada sesosok pria tinggi, tampan, dengan tas ransel berwarna abu abu di punggunya. Dialah yang mengirimkan pesan singkat padaku, yang mampu meluluhkan hatiku hingga membuatku merasa seperti melayang di udara. Kenapa dia disini ? bukankah dia selalu pulang lebih awal ? ataukah ini semua rencana Silwi dan spesiesnya itu ? aku terus bertanya pada diriku sendiri, dengan hasil nihil tidak terjawab satupun. Aku berdiri mematung di depan kelas memasang tampang polos orang idiot tanpa dosa. Trian menyadari kehadiranku dan tanpa sadar telah memperhatikanku sejak tadi. Aku tersentak, seketika mampu membuatku membisu tanpa sepatah kata pun. Kami selalu merasa canggung saat bertatapan langsung, itulah yang membuatku tidak pernah mengobrol dengannya.
Tanpa ragu, kami berjalan menyusuri koridor sekolah melewati beberapa ruangan dengan langkah gontai karena kehabisan energi. Kami tiba di depan kelas 9d hendak membuka pintu kelas tersebut, namun aku merasakan perasaan yang aneh, jantungku berdegup kencang, darahku terasa mengalir lebih cepat dari biasanya. Pandanganku tertuju pada sesosok pria tinggi, tampan, dengan tas ransel berwarna abu abu di punggunya. Dialah yang mengirimkan pesan singkat padaku, yang mampu meluluhkan hatiku hingga membuatku merasa seperti melayang di udara. Kenapa dia disini ? bukankah dia selalu pulang lebih awal ? ataukah ini semua rencana Silwi dan spesiesnya itu ? aku terus bertanya pada diriku sendiri, dengan hasil nihil tidak terjawab satupun. Aku berdiri mematung di depan kelas memasang tampang polos orang idiot tanpa dosa. Trian menyadari kehadiranku dan tanpa sadar telah memperhatikanku sejak tadi. Aku tersentak, seketika mampu membuatku membisu tanpa sepatah kata pun. Kami selalu merasa canggung saat bertatapan langsung, itulah yang membuatku tidak pernah mengobrol dengannya.
“Rifa―” suara seorang cowok yang belum pernah aku kenal sebelumnya.
Aku menoleh. Hanya ada sesosok Trian yang
tertangkap oleh mataku.
“Iya?” balasku lirih seperti sebuah bisikan,
berharap aku tidak salah mendengar.
Trian berjalan dengan santai, melangkah
mendekatiku. Membisikkan satu kalimat di telingaku “Bolehkah aku menyimpan
perasaan kepadamu ?”
Aku menatapnya tajam, mencoba mengamati mimik
mulutnya. Tidakkah aku bermimpi ? tidakkah telingaku sedang tuli saat ini ? aku
menemukan ketulusan di matanya. Seperti sebuah kebenaran yang baru saja
terungkapkan. Aku diam seribu bahasa, tidak bisa merangkai kata kata yang tepat
untuk akau lontarkan.
“Dirimu selalu terbayang dalam lamunanku, hingga
membuat aku selalu mengingat sosok manis sepertimu. Cukup kau menjadi wanita
terindah yang pernah ada dalam hidupku” tukasnya meyakinkan.
Suara Trian yang terdengar lemah, tapi meyakinkan. Perkataan yang
mendekati sebuah gombalan tanpa arti. Namun aku tidak melihat guratan
kebohongan di wajahnya.
“Haruskah aku menjawab pertanyaan itu sekarang
juga ?”
“Tidak, aku akan menunggu sampai kamu
memberikan kepastian akan perasaanmu”
Aku lega, aku tidak harus memaksa otak ku
untuk menyusun kalimat yang tepat. Aku belum memahami perasaanku, apa aku jatuh
cinta kepadanya atau tidak.
“Eh Silwi sayang, pulang yuk. Kayaknya ada
momen romantis yang nggak bisa di rusak nih”
“Binka―!! apaan sih.
Terus aku pulang bareng siapa ?”
“Trian!!” ucap Binka dan
Silwi serempak sembari meninggalkanku.
Tinggallah aku dan Trian dalam ruangan ini.
Hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Rasa gugup kembali menghampiriku.
“Pulang yuk” suara Trian mengejutkanku.
Aku hanya mengangguk mengiyakan dengan senyuman
kecil di mulutku.
***
Seminggu berlalu, aku
dan Trian sudah resmi jadian. Kita semakin sering minum es kelapa muda bersama
atau berjalan-jalan. Hari-hari yang kita lewati semakin menyenangkan. Kami
berdua sangatlah kompak, mengisi kegiatan dengan belajar bersama, bermain
bersama, dan hal-hal positif lainnya. Apalagi sebentar lagi UNAS, kami harus
giat belajar dan Trian lah yang menjadi penyemangat sakaligus motivator
terbesarku. Hubungan orang tua Trian denganku juga cukup dekat, karena aku
sering ke rumah Trian sekedar untuk belajar bersama. Keluaga Trian sangat baik,
mereka selalu ramah denganku, ternyata Trian mempunyai 2 saudara. Tetapi aku
tak pernah bertemu dengan Ayah Trian, setiap kali kutanya tentang ayahnya, dia
selalu enggan untuk menceritakan.
Sore itu aku sedang
bersantai di balkon kamarku, aku teringat akan sosok ayah yang telah meninggal
sejak tiga tahun lalu, aku tak tahu mengapa ini harus terjadi, tapi apa daya
takdir telah menghendaki ayah untuk pergi. Tiga tahun yang lalu saat aku sedang
berada di acara wisuda sekolah dasarku, kedua orang tuaku diundang untuk hadir
di acara itu, ibu sudah berada di sana lebih awal dari ayahku untuk menemaniku,
beberapa menit sebelum acara di mulai ayah sedang berada di perjalanan untuk
hadir di acaraku, tapi akupun tak tahu apa penyebabnya ayah tewas di tusuk
seseorang misterius di jalan. Keluargaku yang seharusnya bergembira merayakan
kelulusanku menjadi penuh duka dan air mata melihat ayahku telah pergi untuk
selamanya.
***
Tak terasa Ujian
Nasional sudah di depan mata, malam itu aku pun memutuskan untuk belajar
bersama Trian dan kedua sahabatku Silwi dan Binka. 3 hari berlalu, UNAS kami
lewati dengan perasaan tegang tetapi tidak mengurung niat kami untuk
bersemangat demi mendapatkan hasil yang terbaik. Hari pengumuman kelulusan pun
tiba, seluruh siswa kelas 9 bergerombol
di depan papan pengumuman, mataku menyipit berusaha mencari dengan teliti
namaku di kertas kelulusan itu. Kudapati nama Silwi, Binka, Trian dan namaku di
kertas itu, kami berempat mendapat peringkat 5 besar dan tak kuasa suasana haru
pun menyerta, kami sangat bahagia. Aku sangat berterimakasih kepada dua
sahabatku dan Trian. Tanpa Trian, mungkin aku tidak mempunyai semangat belajar,
dia adalah motivator terbesar dalam hidupku.
Hari ini adalah hari
perpisahan sekolah. Semua sudah siap dengan pakaian serba putih. Aku mencari
Trian yang sejak tadi belum tercium bau wangi parfum khas miliknya. Aku semakin
khawatir, aku hanya bisa berdoa untuk keselamatannya.
Dari kejauhan, aku
melihat sosok wanita setengah tua berjalan mendekatiku. Bentuk tubuh tinggi
dengan wajah bulat yang sangat familier denganku. Tidak asing lagi, Itu mamanya
Trian! Aku berlari menghampirinya dan bertanya dimana Trian sekarang. Dengan
wajah pucat dan nafas yang terengah engah, beliau menjelaskan bahwa Trian dalam
keadaan kritis di rumah sakit. Keringat dingin bercampur air mata telah jatuh
membasahi wajahnya. Aku segera menuju rumah sakit dengan pandangan yang mulai
kabur karena air mata.
Sesampainya di rumah
sakit, seorang dokter memanggil mama Trian dan menyatakan bahwa Trian telah
tiada, luka akibat benda tajam membuat Trian kehilangan banyak darah. Aku
menangis histeris ketika melihat Trian untuk yang terakhir kalinya, aku harus
kehilangan orang yang sangat berati dalam hidupku. Sesampainya dirumah, aku
pulang dengan mata sembab karena terlalu banyak menangis. Aku melewati kamar
kakak dan mendapati ponselnya tergeletak di meja, terdapat pesan dari seseorang
“gw udah bunuh tuh anak. Dia anak smp” lantas aku pun membangunkan kakakku yang
sedang tidur dan bertanya maksud dari sms itu, kemudian kakakku menjelaskan. Ternyata
yang membunuh Trian adalah kakakku sendiri. Trian adalah anak dari orang yang
telah membunuh ayahku, dan kakakku menyuruh orang untuk menghabisi Trian demi
membalas dendam. Kakak menjelaskan bahwa Ayah Trian sudah meninggal karena
penyakit, sehingga Trian lah yang menjadi sasarannya. Tangisku kembali meledak,
tidak mempercayai semua kenyataan yang layak disebut skenario film.
***
3 tahun berlalu, aku sudah
melupakan Trian, kini aku juga telah lulus Ujian Nasional, dan besok adalah
wisudaku. Pagi-pagi buta aku telah berdandan, kini aku tampak lebih dewasa, aku
tersenyum sambil melihat bayanganku di kaca tapi, tiba-tiba terdengar suara
pintu rumahku seperti sebuah dobrakan. “Angkat tangan. Anda kami tangkap atas
tuduhan pembunuhan!” lantas aku segera keluar kamar dan terkejut saat kakakku
diborgol beberapa polisi bersenjata. Polisi menjelaskan bahwa kasus pembunuhan
Trian 3 tahun yang lalu telah terungkap dan malam itu juga kakakku sebagai
tersangka di hukum mati.
Kini ... aku
kehilangan semua orang yang aku sayang, seperti puzzle yang kehilangan separuh
bagiannya. Mengapa setiap aku ingin merayakan kebahagiaanku selalu terhempas
oleh duka kesedihan. Apakah wisuda merupakan momen untuk melepaskan semua orang
yang aku sayang ? Haruskah aku tersenyum bahagia atau menangis karena
kehilangan seseorang yang aku sayangi ? Apakah ini karma ? entahlah, namun aku
selalu merapal nama mereka yang telah tiada dalam setiap do’aku, aku yakin
bahwa Tuhan itu adil dan akan memberikan kebahagiaan untukku kelak. TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar